Bagaimana kesan pertama anda melihat sawah tersebut? Mirip
sekali dengan jarring laba-laba bukan? Mengapa bisa begitu? Mari kita simak.
Masyarakat Manggarai telah mengenal tradisi
pembagian lahan sawah dan kebun dengan sebutan lingko. Kalau istilah romo
sekaligus peneliti, Vinadi GM, Tembong one, lengko pe’ang. Arti
ungkapan tersebut ialah gendang di dalam, tanah ulayat di luar. Makna
itu dalam, dimana sebuah gendang yang menggantung di tiang utama sebuah rumah
induk adat (mbaru gendang). Itu merupakan manifestasi kekuasaan adat
beserta pemangkunya (dalu dan tua teno) dan tanah merupakan
satu ungkapan territorial kekuasaan tersebut.
Lingko adalah tanah adat yang dimiliki
secara komunal dan merupakan bekal untuk memenuhi kebutuhan bersama. Tanah
dibagikan pada anggota mayarakat sesuai ketentuan adat. Keberadaan sebuah
kampung pastilah dipusatkan di sebuah mbaru gendang dimana lingko
pastilah ada. Lingko sendiri diperkirakan telah ada saat
manusia di Flores mulai berpindah kebiasaan dari berburu menjadi agraris yang
menetap. Berikutnya terbentuk sebuah kampung yang disebut beo. Warga
sebuah beo memiliki kemampuan merambah hutan untuk dijadikan lahan garapan.
Luas sebuah lingko tergantung pada kemampuan merambah dan jumlah
masyarakat dalam sebuah beo.
Seperti manusia, lingko juga memiliki sebuah nama. Ia diberi nama dari jenis
tumbuhan di kawasan tersebut saat dibukanya lahan atau dari keberadaan sungai yang
menoreh lingko saat dibuka. Sebuah
lingko bisa juga dari nama bentuk geografis lahan seperti nama belang
rambang karena di lingko tersebut asalnya ditemukan banyak
tanaman belang, tumbuhan sejenis buluh. Lingko pun memiliki batas yang
biasanya merupakan batas antara beo yang satu dengan lainnya. Lingko ini tidak dimiliki secara orang perorangan,
karena ini milik komunitas. Sebuah suku atau kelompok adalah tuan tanah
sekaligus penguasa atau disebut ata ngara tana dari lingko-nya. Setiap
suku memiliki tetua yang disebut tu’a teno yaitu seseorang yang diberi
kekuasaan mengatur sistem besaran tanah lingko. Sistem pengaturan
besaran tanah lingko disebut lodok. Pengaturan ini dipusatkan
di rumah induk mbaru gendang. Oleh karena itu, keterkaitan gendang dan
simbol kekuasaan adat dengan tanah lingko sangatlah erat.
Bentuk lingko secara filosofis dikaitkan
dengan mbaru niang yaitu rumah asal mula yang masih tersisa dan
satu-satunya desa yang mempertahankannya, yaitu di Wae Rebo, atau
pun di Ruteng Pu’u. Rumah mbaru niang memiliki tiang pancang
utama (siri bongkok) di tengah-tengah yang dilingkari delapan
tiang-tiang penyangga luar (siri leles) membentuk sebuah lingkaran. Di
tiang pancang utama, disimpan sesajian untuk leluhur dimana di sebagian tempat
di Flores disebut mori kraeng. Tiang pusat tersebut bersifat sakral. Demikian pula dalam struktur perkampungan atau beo
di Manggarai. Rumah-rumahnya memiliki formasi dalam bentuk konsentris yang
melingkar mengitari compang, yaitu fondasi batu berundak dimana sebuah
altar yang menjadi tempat sakral bagi para leluhur kampung ditempatkan. Dalam
penyusunan lingko, sistem lodok yang digunakan tak jauh dari
pengaturan mbaru niang ataupun bentuk sebuah beo. Berapa besar pembagian dalam lodok
tergantung dari jumlah penerima hasil, relasi dengan para tuan tanah serta
status dalam sebuah beo. Tu’a teno biasanya mendapatkan
bagian terbesar karena banyak yang harus ditanggungnya.
Di pusat sawah lingko terdapat teno,
yaitu kayu yang menjadi titik pusat ditariknya garis menuju batas terjauh. Dulu
biasanya ditanam ‘pohon teno’ yang akirnya disebut teno. Pusat ini
juga disebut lodok. Di Cancar, teno di pusat sawah lingko ditandai
oleh sebuah kayu berbentuk simbol ketuhanan yang satu, yaitu mangka
Secara fisik, lingko menjadi
sebuah daya tarik luar biasa dan juga unik, karena anda tidak dapat
menemukannya di tempat lain. Cancar adalah daerah yang paling jelas untuk dapat
melihat lingko secara utuh. Tertarik untuk datang menikmati jaring laba-laba
hijau ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar