Sepuluh tahun silam, bencana tsunami yang sangat hebat melanda Aceh, provinsi ter-sabang Indonesia.
Tsunami tanggal 26 Desember 2004 tersebut menewaskan 160.000 masyarakat Aceh. Sedangkan pada tanggal 11 Maret 2011, Sendai, Jepang juga dilanda tsunami hebat. Namun dengan tingkat pendidikan masyarakatnya, fasilitas yang canggih, dan kesiapan pemerintah, korban tewas di Jepang berjumlah 20.000 jiwa. Satu per delapan korban Aceh.
Namun, ada sesuatu yang unik dari kedua bencana tersebut. Setelah kejadian kelam Aceh, masyarakat yang selamat tidak mengalami gangguan mental yang serius. Berbeda dengan Jepang, di mana pasca tsunami banyak terjadi bunuh diri akibat gangguan mental karena tsunami. Menurut NBC News, lebih dari 60 orang bunuh diri akibat tsunami tersebut. Yang lebih mencengangkan, dua bulan setelah tsunami, yaitu bulan Mei, 2011, terdata 3375 manusia melakukan bunuh diri. Penelitian oleh Kesennuma City Hospital dan Tohoku University (Epilepsia, 2011) menemukan, delapan minggu setelah tsunami, jumlah pasien kejang-kejang terkait masalah mental sebesar 20%, padahal 3 tahun sebelumnya masing-masing 11%, 5%, dan 0%.
Respon yang berbeda dipengaruhi perbedaan persepsi dalam memaknai bencana alam, kerentanan dan resiko. Seperti menurut Anthony Oliver-Smith dalam Greg Bankoff (2003), kerentanan sangat dipengaruhi oleh sosial-budaya. Bencana alam bukan semata-mata akibat mekanisme alam, melainkan proses kebudayaan.
Bagi penduduk Jepang, bencana adalah ketika gagal melakukan mitigasi, dan merupakan masalah manusiawi, sedangkan bagi orang Aceh, bencana alam selalu dikaitkan dengan kekuasaan Tuhan. Penelitian oleh Oman Fathurahman, ahli filologi Universitas Islam Syarif Hidayatullah (2014) menemukan bahwa penafsiran bencana alam sebagai takdir Tuhan cenderung akan melemahkan upaya mitigasi bencana, namun berefek mempercepat pemulihan masyarakat korban bencana alam tersebut.
Semoga setelah 10 tahun berlalu, masyarakat Aceh dapat benar-benar pulih dan mampu menata kembali kehidupan mereka, ya. Kita doakan saja :)
sumber: Kompas, Senin, 22 Desember 2014, halaman 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar