Sabtu, 07 Maret 2015

Best Destination 2015

Matka Nordic Travel Fair. Adakah yang familiar dengan nama event internasional tersebut? Bagi para penggemar jalan-jalan, tentu event tersebut tidak asing terdengar di kuping.



Matka Nordic Travel Fair adalah event terbesar di Eropa Utara dan Baltik yang pada tahun ini diselenggarakan di Messukeskus Helsinki, Finlandia pada 15-18 Januari 2015. Di dalamnya terdapat stand baik jasa maupun produk dengan 1.000 exhibitors dari 80 negara di seluruh dunia, dan disambangi oleh 70.000 pengunjung. Tahun ini event ini bersifat lebih internasional dibanding tahun tahun sebelumnya karena mengundang para profesional travel trade dari seluruh dunia.

Lalu, apa yang istimewa dari event heboh ini?
Pada tahun ini Raja Ampat, Papua mendapatkan penghargaan sebagai The Best Destination dari kategori Adventure. Penghargaan yang diberikan oleh media pariwisata Mondo itu diserahkan oleh Editor in Chief Majalah Mondo, Kati Kelola, kepada perwakilan KBRI Helsinki di Stand Indonesia di Matka 2015.



Selain itu, rupanya Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Helsinki telah ikut berpartisipasi pada event raksasa ini selama tujuh tahun berturut-turut! Untuk tahun ini, Stand Indonesia mengambil tema "Heritage of Indonesia" yang menampilkan dekorasi utama Gunungan Wayang Raksasa serta deretan Wayang Kulit Indonesia dengan dilengkapi patung Hanoman sebagai salah satu figur yang cukup terkenal dalam dunia pewayangan. Pemilihan tema tersebut dimaksudkan agar pengunjung stand Indonesia dapat lebih mengenal salah satu kebudayaan Indonesia yang diakui oleh UNESCO, sebagai warisan budaya tak benda yang bernilai tinggi. Dua Biro Perjalanan Indonesia dari Stockholm dan Bali juga turut berpartisipasi di Stand Indonesia dengan mempromosikan paket-paket wisata dan daerah tujuan wisata di Indonesia. 

Tak hanya berhenti di situ, kehadiran Indonesia pada Matka 2015 juga ditandai dengan pertunjukan budaya Indonesia yang ditampilkan oleh kelompok budaya Indonesia yang ada di Finlandia, Bhinneka Indonesia dan Banyu Petak Indonesia Helsinki. Pertunjukan tiga tarian tradisional Indonesia, yaitu Bajidor Kahot, Puspanjali dan Jaipong berhasil memikat perhatian para pengunjung yang menyaksikan pertunjukan tersebut di panggung utama Matka 2015.

Semoga ke depan pariwisata Indonesia terus berkembang, namun juga seiring dengan berkembangnya kedewasaan masyarakat dalam merawatnya.






Kamis, 05 Februari 2015

Sawah Jaring Laba-Laba

Kali ini saya tertarik untuk ‘mengcopy-paste’ informasi tentang sistem pembagian sawah yang tidak akan anda jumpai di manapun kecuali di Ruteng, Manggarai.


Bagaimana kesan pertama anda melihat sawah tersebut? Mirip sekali dengan jarring laba-laba bukan? Mengapa bisa begitu? Mari kita simak.


Masyarakat Manggarai telah mengenal tradisi pembagian lahan sawah dan kebun dengan sebutan lingko. Kalau istilah romo sekaligus peneliti, Vinadi GM, Tembong one, lengko pe’ang. Arti ungkapan tersebut ialah gendang di dalam, tanah ulayat di luar. Makna itu dalam, dimana sebuah gendang yang menggantung di tiang utama sebuah rumah induk adat (mbaru gendang). Itu merupakan manifestasi kekuasaan adat beserta pemangkunya (dalu dan tua teno) dan tanah merupakan satu ungkapan territorial kekuasaan tersebut.


Lingko adalah tanah adat yang dimiliki secara komunal dan merupakan bekal untuk memenuhi kebutuhan bersama. Tanah dibagikan pada anggota mayarakat sesuai ketentuan adat. Keberadaan sebuah kampung pastilah dipusatkan di sebuah mbaru gendang dimana lingko pastilah ada. Lingko sendiri diperkirakan telah ada saat manusia di Flores mulai berpindah kebiasaan dari berburu menjadi agraris yang menetap. Berikutnya terbentuk sebuah kampung yang disebut beo. Warga sebuah beo memiliki kemampuan merambah hutan untuk dijadikan lahan garapan. Luas sebuah lingko tergantung pada kemampuan merambah dan jumlah masyarakat dalam sebuah beo.


Seperti manusia, lingko juga memiliki sebuah nama. Ia diberi nama dari jenis tumbuhan di kawasan tersebut saat dibukanya lahan atau dari keberadaan sungai yang menoreh lingko saat dibuka. Sebuah lingko bisa juga dari nama bentuk geografis lahan seperti nama belang rambang karena di lingko tersebut asalnya ditemukan banyak tanaman belang, tumbuhan sejenis buluh. Lingko pun memiliki batas yang biasanya merupakan batas antara beo yang satu dengan lainnya. Lingko ini tidak dimiliki secara orang perorangan, karena ini milik komunitas. Sebuah suku atau kelompok adalah tuan tanah sekaligus penguasa atau disebut ata ngara tana dari lingko-nya. Setiap suku memiliki tetua yang disebut tu’a teno yaitu seseorang yang diberi kekuasaan mengatur sistem besaran tanah lingko. Sistem pengaturan besaran tanah lingko disebut lodok. Pengaturan ini dipusatkan di rumah induk mbaru gendang. Oleh karena itu, keterkaitan gendang dan simbol kekuasaan adat dengan tanah lingko sangatlah erat.


Bentuk lingko secara filosofis dikaitkan dengan mbaru niang yaitu rumah asal mula yang masih tersisa dan satu-satunya desa yang mempertahankannya, yaitu di Wae Rebo,  atau pun di Ruteng Pu’u. Rumah mbaru niang memiliki tiang pancang utama (siri bongkok) di tengah-tengah yang dilingkari delapan tiang-tiang penyangga luar (siri leles) membentuk sebuah lingkaran. Di tiang pancang utama, disimpan sesajian untuk leluhur dimana di sebagian tempat di Flores disebut mori kraeng. Tiang pusat tersebut bersifat sakral. Demikian pula dalam struktur perkampungan atau beo di Manggarai. Rumah-rumahnya memiliki formasi dalam bentuk konsentris yang melingkar mengitari compang, yaitu fondasi batu berundak dimana sebuah altar yang menjadi tempat sakral bagi para leluhur kampung ditempatkan. Dalam penyusunan lingko, sistem lodok yang digunakan tak jauh dari pengaturan mbaru niang ataupun bentuk sebuah beo. Berapa besar pembagian dalam lodok tergantung dari jumlah penerima hasil, relasi dengan para tuan tanah serta status dalam sebuah beo. Tu’a teno biasanya mendapatkan bagian terbesar karena banyak yang harus ditanggungnya.


Di pusat sawah lingko terdapat teno, yaitu kayu yang menjadi titik pusat ditariknya garis menuju batas terjauh. Dulu biasanya ditanam ‘pohon teno’ yang akirnya disebut teno. Pusat ini juga disebut lodok. Di Cancar, teno di pusat sawah lingko ditandai oleh sebuah kayu berbentuk simbol ketuhanan yang satu, yaitu mangka


Secara fisik, lingko menjadi sebuah daya tarik luar biasa dan juga unik, karena anda tidak dapat menemukannya di tempat lain. Cancar adalah daerah yang paling jelas untuk dapat melihat lingko secara utuh. Tertarik untuk datang menikmati jaring laba-laba hijau ini?


Rabu, 14 Januari 2015

Desa Fotokopi

Kalau coba dihitung-hitung, jasa fotokopi mungkin adalah yang paling banyak berjasa bagi kita. Apalagi ketika dulu, mesin fotokopi belum semudah sekarang didapatkan. Dan meskipun sekarang sudah banyak printer yang digabung dengan fotokopi atau alat fotokopi sederhana lainnya, tetap saja untuk urusan fotokopi dengan banyak kertas, laporan, tugas, makalah, materi, dan sebagainya, kita tetap datang ke kios-kios jasa fotokopi.


Rupanya, ada yang unik dibalik jasa fotokopi ini. Di Sumatra Barat, Kabupaten Tanah Datar, terdapat sebuah desa bernama desa Atar. Di desa ini, orang-orang sulit mendapatkan pekerjaan bertani seperti di desa lainnya, karena kondisinya yang berada di perbukitan, hingga akhirnya seseorang memelopori usaha jasa fotokopi. Hal tersebut kemudian berkembang dan diikuti oleh tetangga-tetangganya, hingga sebagian besar masyarakat desa Atar menjadi pengusaha jasa fotokopi dan merantau ke seluruh penjuru Indonesia.


Kini mereka menjadi lebih sejahtera karena fotokopi. Tidak hanya sekedar membuka jasa fotokopi, masyarakat desa Atar banyak yang telah menjadi supplier dan importir mesin fotokopi. Ketika musim lebaran, banyak mobil berjajar di jalan-jalan desa Atar, membuktikan kesuksesan mereka karena fotokopi. Tentu yang paling berjasa adalah si penggagas, sayangnya belum diketahui hingga sekarang, siapa sosok tersebut. Yang jelas, sosok tersebut adalah pahlawan roda perekonomian bagi desa Atar.


Sebagai ungkapan syukur, warga desa Atar atau yang kini lebih kondang disebut desa Fotokopi tersebut berbondong-bondong membangun sebuah tugu dengan bentuk fotokopi di ujung atasnya sebagai simbol perjuangan mereka. Mungkin bila Anda berkunjung di sekitar daerah desa Atar ini, Anda bisa menyempatkan diri menengok Tugu Fotokopi yang memiliki sejarah unik ini.



Sabtu, 10 Januari 2015

Cerita Borobudur Tentang Jamu

Hari ini saya mendapat informasi menarik mengenai jamu. Saya yakin Anda pun pasti setuju bahwa jamu adalah warisan otentik, murni dari Indonesia. Tapi pernahkah Anda bertanya, apa buktinya bahwa jamu itu benar-benar dari Indonesia? Saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda.


Tentu Anda mengetahui candi Borobudur bukan? Mungkin banyak dari Anda bahkan sudah pernah menginjakkan kaki di candi terbesar di Indonesia yang pernah masuk nominasi tujuh keajaiban dunia itu. Lalu apa hubungannya dengan jamu? Fakta bahwa Borobudur adalah candi terbesar di Indonesia atau mungkin dunia tentu sudah biasa kita dengar, namun fakta bahwa di antara sekian banyak relief terdapat relief tentang jamu, pasti belum banyak yang tahu.


Seperti tulisan saya di atas, relief tentang jamu benar-benar ada di candi Borobudur. Relief Karmawibhangga panil 18 menggambarkan seorang laki-laki mendapat perawatan beberapa wanita, ada yang memijat kepalanya, memegang tangan dan kakinya. Orang-orang di sekitarnya tampak bersedih. Sedangkan pada panil 19 yang letaknya di dinding dasar candi bagian tenggara, terdapat relief yang menunjukkan adegan beberapa orang yang sedang memberikan pertolongan pada seorang laki-laki yang sedang sakit. Ada yang memijat kepalanya, menggosok perut serta dadanya, juga ada seseorang yang menumbuk jamu dan membawa obat. Di sampingnya terdapat adegan yang memperlihatkan suasana bersyukur atas kesembuhan seseorang.


Mungkin Anda juga menjadi penasaran mengapa kita menyebut 'jamu' dan bagaimana sejarahnya. Berikut hasil penelusuran saya. Menurut ahli bahasa Jawa Kuno, istilah “jamu” berasal dari singkatan dua kata bahasa Jawa Kuno yaitu “Djampi” dan “Oesodo”. Djampi berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian sedangkan Oesodo berarti kesehatan. Pada abad pertengahan (15-16 M), istilah oesodo jarang digunakan. Sebaliknya istilah jampi semakin populer di antara kalangan keraton. Kemudian sebutan “jamu” mulai diperkenalkan kepada publik oleh “dukun” atau tabib pengobat tradisional.


Ya, benar sekali, relief candi Borobudur inilah yang membuktikan bahwa jamu adalah asli dari Indonesia. Selain candi, banyak prasasti dan peninggalan sejarah lain yang menguatkan bukti ini. Tapi memang data prasasti tidak langsung menyebut tentang masalah kesehatan, melainkan hanya nama-nama profesi yang dapat dihubungkan dengan kesehatan. Dari data prasasti yang dikeluarkan pada sekitar abad XIV–XV M, terdapat nama-nama yang berhubungan dengan profesi kesehatan. Prasasti tersebut yaitu prasasti Balawi, Sidoteka, Bendosari, Biluluk, dan Madhawapura. Jika Anda tertarik, Anda dapat mengunjungi laman ini http://ijemherbal.com/artikel-artikel-herbal/jenis-pengobatan-pada-relief-candi/


Adanya relief jamu tersebut, menjadi daya tarik tersendiri, salah satunya pada produk jamu raksasa PT Jamu Jago sebagai penyelenggara pemilihan Ratu Jamu Gendhong Indonesia. Grand final kontes tersebut pada tahun 2014 diselenggarakan di candi Borobudur, dan dihadiri para grand finalis sejumlah 22 orang dari kategori 18-35 tahun dan 37-55 tahun. Kontestasi yang bertujuan menggalakkan kembali budaya minum jamu terutama di kalangan generasi muda ini mendapatkan penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai kegiatan unik yang belum pernah terjadi di Indonesia maupun dunia.


Makin percaya kan kalau leluhur kita luar biasa? 




Jumat, 02 Januari 2015

Ikan Anak Perempuan dan Rawa Gambut

Ada yang pernah mendengar nama ikan Anak Perempuan? Nama lokal ini diberikan pada ikan dengan nama latin Paedocypris progenetica, ikan terkecil di dunia yang berdomisili di rawa-rawa gambut Sumatra.


Kemarin sore, ayah saya mendapat kiriman majalah langganannya, dan beliau mulai larut dalam deretan huruf majalah berukuran seperempat kertas HVS A4 tersebut. Pagi tadi saya mencoba melirik majalah yang tergeletak tak bertuan di atas meja keluarga, dan saya menemukan informasi baru untuk menyapa tahun 2015 ini.


Artikel aslinya bertajuk "Ikan Terkecil di Dunia dari Sumatra", halaman 63, ditulis oleh M. Habib Asyhad. Ikan dengan panjang tubuh 8-10 mm ini sebenarnya belum memiliki nama lokal, bahkan ia belum memiliki nama padanan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, hanya nama latin saja, yaitu Paedocypris progenetica. Genusnya Paideios yang berarti anak-anak, sementara Cypria berarti perempuan, maka dari itu, secara asal-asalan, kita bisa menyebutnya ikan Anak Perempuan.


Ikan mungil ini pernah mendapat predikat vertebrata terkecil di dunia, merujuk pada jurnal Proceeding terbitan The Royal Society (2006). Namun predikat tersebut hanya bertahan hingga Januari 2012, karena posisinya segera direbut oleh katak bernama Paedophryne amauensis asal Papua Nugini.


Paedocypris progenetica merupakan hewan asli dan endemik Sumatra dan Pulau Bintan. Habitatnya adalah rawa gambut. Berdasar penelitian, rawa gambut memang tempat yang cocok bagi spesies rendah dengan produktivitas rendah, dan hewan-hewan seperti itu tidak dapat tinggal di lain tempat. Rawa gambut adalah rumah bagi hewan endemik dengan karakter stenotopic yaitu hewan yang memiliki toleransi sangat kecil terhadap perubahan lingkungan.


Namun yang menyedihkan adalah belum banyak warga Indonesia yang mengetahui keberadaan ikan cantik ini. Ketidaktahuan ini menyebabkan si ikan kurang diperhatikan. Mengingat karakter stenotypic-nya dan ditambah dengan jumlah rawa gambut yang semakin berkurang, bukan tidak mungkin Paedocypris progenetica akan segera punah.

Dengan semakin canggihnya teknologi dan cepatnya informasi tersebar, semoga ikan ini bisa hidup dengan tenang ya.




sumber: Intisari edisi Januari 2015, terbitan KOMPAS GRAMEDIA. Artikel "Ikan Terkecil di Dunia dari Sumatra", halaman 63-69, ditulis oleh M. Habib Asyhad.